Minggu, 31 Juli 2011

Cerita Ust.Yusuf Mansur dan Security POM Bensin

Ini ada cerita ringan, dialog antara *Ust. Yusuf Mansur dengan Security
POM Bensin*. Agak panjang, tapi percaya deh enak kok dibacanya ….
SEMOGA BERMANFAAT dan menjadi nasihat terutama untuk diri saya sendiri.

Banyak yang mau berubah, tapi memilih jalan mundur. Andakah orangnya?

Satu hari saya jalan melintas di satu daerah. Tetidur di dalam mobil.
Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir
saya: “Nanti di depan ke kiri ya”.
“Masih banyak, Pak Ustadz”.
Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan.
Saya pengen pipis.
Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang sekuriti.
“PakUstadz!”. Dari jauh ia melambai dan mendekati saya.
Saya menghentikan langkah. Menunggu beliau.
“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan
hanya melihat di TV saja…”. Saya senyum aja. Ga ke-geeran, insya Allah,
he he he.
“Saya ke toilet dulu ya”.
“Nanti saya pengen ngobrol boleh Ustadz?”
“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”
“Saya bosen jadi satpam Pak Ustadz”.
Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya.
Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh nemu
pom bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu
bicara dengan dia. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari
ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.
Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini, “Ok, ntar habis dari toilet ya”.

“Jadi, pegimana? Bosen jadi satpam? Emangnya ga gajian?”, tanya saya
membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan
beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimart nya
yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.
“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini aja?”
“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya emang udah begitu.
Distel kayak apa juga, agak susah buat ngerubahnya”.
“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.
Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang
salah. Tapi umumnya begitu lah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama
Allah ga mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya
begitu-begitu saja.
“Udah shalat ashar?”
“Barusan Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya
ga? Ya saya pikir sama saja”.
“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ pikir kerja situ adalah juga
ibadah?”
Sekuriti itu senyum aja.
Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu
bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga ga. Cuma
sebatas omongan doangan. Lagian, kalo nganggap kerjaan-kerjaan kita
ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita
niatkan sebagai ibadah. Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni
kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor
tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah. Misalnya
lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah.
Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita menerima tamu sementara Allah
datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian
kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah
pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil
kerjaan dan hasil usaha, buat Allah nya lebih sedikit ketimbang buat
kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh
sebutan-sebutan ibadah.
“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam
5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.
“Ya, kurang lebih dah”.
Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang
‘alim, bahwa shalat itu kudu tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut
perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu.
Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. Lalu,
kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan
jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya
ingatkan sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah
sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.
“Gini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk
mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu
setengah jam andai ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang dikit. Bila
dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan
sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka
berapa jarak ketertinggalan kita tuh? 5x satu setengah jam, lalu dikali
sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali
lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo
ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih bahayanya lagi kalau
bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja mestinya kita dari
senang”.
Saudara-saudaraku Peserta KuliahOnline, percakapan ini kurang lebih
begitu. Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari
raut mukanya, nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga
saudara-saudara ya? He he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini
kudu nanya paham apa engga sama lawan bicara?
Saya katakan pada dia. Jika dia alumni SMU, yang selama ini telat
shalatnya, maka kawan-kawan selitingnya mah udah di mana, dia masih
seperti diam di tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang
buka usaha, sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit
usahanya, bisa jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak.
Dan saya mengingatkan kepada peserta KuliahOnline untuk tidak
menggunakan mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat,
dan cenderung jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan
yang satu yang rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini cukup kompleks. Tapi
bisa diurai satu satu dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan
yang cair dan dekat dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan
yang demikian.
Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”
“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalo ga
serius?”
“Ya udah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah nya”.
“Ngebut gimana?”
“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat asharnya.
Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah.
Jangan sampe keduluan Allah”.
Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan udah standby
di atas sajadah. Kita ini pengen rizkinya Allah, tapi ga kenal sama Yang
Bagi-bagiin rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini. Kan
aneh. Dia pada kerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran
Allah memanggil, sedang Allah lah Tuhan yang sejatinya menjadikan
seseorang bekerja, malah kelakuannya seperti ga menghargai Allah. Nemuin
klien, rapih, wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu
Allah, amit-amit pakaiannya, ga ada persiapan, dan tidak segan-segan
menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini namanya ga kenal sama Allah.
“Yang kedua,” saya teruskan. “Yang kedua, keluarin sedekahnya”.
Saya inget betul. Sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, pegimana mau
sedekah, hari gini aja nih, udah pada habis belanjaan. Hutang di warung
juga terpaksa dibuka lagi,. Alias udah mulai ngambil dulu bayar belakangan”.
“Ah, ente nya aja kali yang kebanyakan beban. Emang gajinya berapa?”
“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.
“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang
sering sebut orang kecil, itu udah gede”.
“Yah, pan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini
bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.
“Itu kerja bisa gede, emang udah lama kerjanya?”
“Kerjanya sih udah tujuh taon. Tapi gede gaji bukan karena udah lama
kerjanya. Saya ini kerjanya pagi siang sore malem, ustadz”.
“Koq bisa?”
“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos pegimana gitu
sampe ketemu angka 1,7jt”.
“Terus, kenapa masih kurang?”
“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak”.
“Secara dunianya, lepas aja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga
ente kredit motor? Kan ga perlu?”
“Pengen kayak orang-orang Pak Ustadz”.
“Ya susah kalo begitu mah. Pengen kayak orang-orang, motornya. Bukan
ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.
Sekuriti ini nyengir. Emang ini motor kalo dilepas, dia punya 900 ribu.
Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Ga jelas tuh darimana dia
nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air
dan listrik. Kalo ngelihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.
“Ya udah, udah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya gimana? Mau diubah?”
“Mau Ustadz. Saya benahin dah”.
“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sendal,
lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin. Ikutan
semuanya ngebenahin shalat”.
“Siap ustadz”.
“Tapi sedekahnya tetap kudu loh”.
“Yah Ustadz. Kan saya udah bilang, ga ada”.
“Sedekahin aja motornya. Kalo engga apa keq”.
“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya.
Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.
Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya
akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja,
tapi sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul.
Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain.
Ya lain soal itu mah.
Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo saya
unjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau
percaya?”. Si sekuriti mengangguk. “Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau
ngejalanin?”. Sekuriti ini ngangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan
jalanin,” katanya, manteb.
“Gajian bulan depan masih ada ga?”
“Masih. Kan belum bisa diambil?”
“Bisa Dicoba dulu”.
“Entar bulan depan saya hidup pegimana?”
“Yakin ga sama Allah?”
“Yakin”.
“Ya kalo yakin, titik. Jangan koma. Jangan pake kalau”.
Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapetnya. Tapi
usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya. Sehingga
perubahannya berasa. Dia janji akan ngebenahin mati-matian shalatnya.
Trmasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha
dan tahajjudnya. Dia juga janji akan rajinin di waktu senggang untuk
baca al Qur’an. Perasaan udah lama banget dia emang ga lari kepada
Allah. Shalat Jum’at aja nunggu komat, sebab dia sekuriti. Wah, susah
dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah
mengunci mati dirinya hanya menjadi sekuriti sekian tahun, padahal dia
Sarjana Akuntansi!
Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia ga betah dengan
posisinya sebagai sekuriti. Ga kena di hati. Ga sesuai sama rencana.
Tapi ya begitu dah hidup. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang
penting kerja dan ada gajinya.
Bagi saya sendiri, ga mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu
keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar Dan ga
apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belom kesampaian sama kita. Asal
apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang
ini, biarin aja harga barang pada naik. Ga usah kuatir. Ancem aja diri,
agar mau menambah ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya
hidup kemakan dengan tingginya harga,. Ga kebagian.

Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya buat
apa? Dia nyengir ga jawab. Tapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, Pol.
Satu koma tujuh. Semuanya.
“Mana bisa?” kata komandannya.
“Ya Pak, saya kan ga pernah kasbon. Ga pernah berani. Baru ini saya berani”.
Komandannya terus mengejar, buat apa? Akhirnya mau ga mau sekuriti ini
jawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya.
Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk ketemu langsung sama
ownernya ini pom bensin. Katanya, kalau pake jalur formal, dapet
kasbonan 30% aja belum tentu lolos cepet. Alhamdulillah, bos besarnya
menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya
Pak”, begitu kata komandannya.
Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab
cerita si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah
pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story nya.
Termasuk dinanti oleh bos nya.
“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitu lah
pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah
bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah.
Hari demi hari, sekuriti ini dilihat sama kawan-kawannya rajin betul
shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah
sunnahnya. Bos nya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat
kerjanya jadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi saleh
begini. Apalagi kenyataannya si sekuriti ga mengurangi kedisiplinan
kerjaannya. Malah tambah cerah muka nya.
Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan
dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan
kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal
dengan catatan dia berhasil dulu.
Saya ketawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa,
saya demen ama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan
tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan
nasib si sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah
bagi yang belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini,
sebab Allah pasti tidak akan mempermalukannya juga, sebagaimana Allah
tidak akan mempermalukan si sekuriti.
Suatu hari bos nya pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalo dia ga
kasbon saja, berarti dia berhasil. Tapi kalo dia kasbon, maka
kelihatannya dia gagal. Sebab buat apa sedekah 1 bulan gaji di depan
yang diambil di muka, kalau kemudian kas bon. Percuma”.
Tapi subhaanallah, sampe akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini ga kasbon.
Berhasil kah?
Tunggu dulu. Kawan-kawannya ini ga melihat motor besarnya lagi. Jadi,
tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman sebab jual
motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah.
Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan
yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.
“Bener nih, ga kasbon? Udah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian.
Sedang situ kan udah diambil bulan kemaren”.
Sekuriti ini bilang tadinya sih dia udah siap-siap emang mau kasbon kalo
ampe pertengahan bulan ini ga ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si
sekuriti ini benar-benar bikin bengong orang pada.
Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia benahin shalatnya, dan dia
sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni
hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan, trjadi keajaiban. Di
kampung, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya
ga trlibat secara fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan
penjual. Katanya, dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10x lipat.
Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7jt gajinya. Tapi Allah mengaruniainya
komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5jt. Dan itu trjadi
begitu cepat. Sampe-sampe bulan kemaren juga belum selesai. Masih
tanggalan bulan kemaren, belum berganti bulan.
Kata si sekuriti, sadar kekuatannya ampe kayak gitu, akhirnya dia malu
sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual!
Uangnya melek-melek buat sedekah. Tuh motor dia pake buat ngeberangkatin
satu-satunya ibunya yang masih hidup. Subhaanallaah kan? Itu jual motor,
kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya ga nyampe 13 juta. Tapi
dia tambahin 12 juta dari 17jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya
punya 25 juta. Tambahannya dari simpenan ibunya sendiri.
Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta
lebihan transaksi. Dan dia merasa ga perlu lagi motor. Dengan uang ini,
ia aman. Ga perlu kasbon.
Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu kumpulin semua karyawannya, dan
menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya
selama 1 bulan setengah ini.
Apakah cukup sampe di situ perubahan yang trjadi pada diri si sekuriti?
Engga. Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut
sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner
yang lain, dan dijadikan staff keuangan di sana. Masya Allah, masya
Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah.

Saudara-saudaraku sekalian. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang
Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. soal keyakinan dan
iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya
ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang
menggerakkan! Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah.
Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit
ini dipake sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh buat
perubahan dirinya, buat perubahan hidupnya.
Subhaanallaah, masya Allah.

Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar
sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya
kawan-kawan sepom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak
suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang
sebagai sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada
rutinitas dunia. Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi
manusia-manusia pembelajar.

Pertanyaan ini juga layak juga diajukan kepada Peserta KuliahOnline yang
saat ini mengikuti esai ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa
sajakah? Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana
pom bensinnya? Bisa kah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja.
Sebab kenyataannya juga buat saya tidak gampang menghadirkan testimoni
aslinya. Semua orang punya prinsip hidup yang berbeda. Di antara semua
peserta KuliahOnline saja ada yang insya Allah saya yakin mengalami
keajaiban-keajaiban dalam hidup ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan
sebagiannya lagi memilih menceritakan ini kepada satu dua orang saja,
dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilih untuk benar-benar
terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan apa-apa, ketika sudah
dipublish, memang tidak gampang buat seseorang menempatkan dirinya untuk
menjadi contoh.

Yang lebih penting buat kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini
mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh saja
kisah ini. Kita ngebut sengebut2nya menuju Allah. Yang merasa dosanya
banyak, sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan
Allah dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan
amal saleh. Persis seeperti yang kemaren-kemaren juga dijadikan
statement esai penutup.

Kepada Allah semua kebenaran dan niat dikembalikan. Salam saya buat
keluarga dan kawan-kawan di sekeliling saudara semua. Saya merapihkan
tulisan ini di halaman parkir rumah sakit Harapan Kita. Masih di dalam
mobil. Sambil menunggu dunia terang. Insya Allah hari ini bayi saya,
Muhammad Yusuf al Haafidz akan pulang ke rumah untuk yang pertama
kalinya. Terima kasih banyak atas doa-doanya dan perhatiannya.
Mudah-mudahan allah membalas amal baik saudara semua.

Dari semalam saya tulis esai ini. Tapi rampungnya sedikit sedikit. Ini
juga tadinya bukan esai sekuriti ini yang mau saya jadikan tulisan. Tapi
ya Allah jugalah yang menggerakkan tangan ini menulis.
Semalam, file yang dibuka adalah tentang langkah konkrit untuk berubah.
Lalu saya lampirkan kalimat pendahuluan. Siapa sangka, kalimat
pendahuluan ini saja sudah 10 halaman, hampipr 11 halaman. Saya pikir,
esai ini saja sudah kepanjangan. Jadi, ya sampe ketemu dah di esai
berikutnya. Saya berhutang banyak kepada saudara semua. Di antaranya,
saya jadi ikut belajar.
Semalam saya ikutan tarawih di pesantren Daarul Qur’an internasional.
Sebuah pesantren yang dikemas secara modern dan internasional. Tapi
tarawihnya dijejek 1 juz sekali tarawih. Masya Allah, semua yang
terlibat, terlihat menikmati. Ga makmumnya, ga imam-imamnya, ga para
tamu dan wali santri yang ikut. Semua menikmati. Jika ada di antara
peserta KuliahOnline yang pengen ikutan tarawih 1 juz ini, silahkan
datang saja langsung ya. Insya Allah saya usahakan ada. Sebab saya juga
kebagian menjadi salah satu imam jaganya. Ya, kondisi-kondisi begini
yang saya demen. Saya kurangin jadwal, tapi masih tetep bisa ngajar
lewat KuliahOnline ini. Dan saya masih sempet mengkader ustadz-ustadz
muda untuk diperjalankan ke seantero negeri. Sementara saya akhirnya
bisa mendampingi para santri dan guru-guru memimpin dan mengembangkan
pesantren Daarul Qur’an ini.

Ok, kelihatannya matahari sudah mulai kelihatan. Saya baru pulang juga
langsung dari TPI. Siaran langsung jam 5 ba’da shubuh tadi. Istri saya
meluncurnya dari rumah. Doakan keluarga kami ya. Saya juga tiada henti
mendoakan saudara dan jamaah semua.

Matematika Gaji dan Logika Sedekah22 Jun 07 17:14 WIBOleh A. MuttaqinDalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orangbiasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yangmenurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Darisinilah perbincangan kami mengalir lancar.Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogramsebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri.Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan daripelatihan itu.Melainkan dari pria ini.Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karenapenampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak sepertiyang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh darimapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikaphidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami daribeberapa kali perbincangan yang kami bangun.Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukarinformasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satusekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kamimasing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-samabernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakansangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amatberbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayaiseorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memilikitanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA.Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagiberpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisamencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali darijumlah yang diterimanya."Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Adadimensi non matematis dan di luar angka-angka logis.""Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?""Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit.Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnyanilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu diaakan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang.""Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata saya mengiayakan. "Manamungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah.Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya."Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluardari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uangsepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribukita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?""Tidak ada. Habis." jawab saya spontan."Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Danseribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenungpada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisauang seribu rupiah? Dari mana sisanya?"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudahdiberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya."Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapicobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah.Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhanlontaran doa' keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu ataspemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kitamemberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itumenjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat.Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilaibakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya.Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yanghidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memangberat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telahmerasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidakmau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masihkurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melaluipola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy sepertiingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untukmencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya.Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat harubiru perasaanya.Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu,Allah akan menggantinya berlipat-lipat."Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematisdengan dimensi sedekah itu?"."Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapisebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasangaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah,jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridhadan syukur". Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semuagaris hidup yang telah saya habiskan.Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama inipandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakandi dada.Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoismekecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yangtelah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiaramelalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butirmutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.***Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur'an. Telah beberapa waktusaya acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih danmembukanya.Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat MasAjy.Allah mengingatkan saya kembali:"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkanhartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yangmenumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allahmelipat gandakan(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar